Salah satu identitas kota dengan keunggulan yang tak hanya berarti pada waktu silam tapi juga di masa kini dan mendatang, adalah arsitektur pusaka. Bagaimana menyikapi tinggalan yang seringkali terlihat kumuh dan menggoda banyak pihak untuk kemudian justru mencari jalan pintas, menghancurkan, itu menjadi persoalan hingga kini. Padahal banyak contoh yang membuktikan, pemanfataan dan pelestarian yang tepat terhadap arsitektur pusaka bisa mendatangkan keuntungan secara ekonomi, sosial budaya hingga ilmu pengetahuan. Demikian Dr Laretna T Adishakti, staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) , Jurusan Teknik Arsitektur, yang selalu menegaskan pernyataan di atas di manapun ia bicara perihal pelestarian pusaka. Ia memberi contoh pada kasus penjualan dan pencerabutan joglo di kawasan pusaka Kota Gede, DI Yogyakarta. “Pranata hukum tidak ada, kemudian pemilik juga tidak merasakan keuntungan terhadap kepemiilikan joglo. Kasus-kasus seperti ini membuat identitas kota jadi rentan,” tandasnya beberapa waktu lalu.
Untuk melestarikan berbagai arsitektur pusaka, perlu strategi dan pranata olah disain serta aspek kelembagaan dan legal. Dalam rangka melestarikan pusaka inilah, PT Kereta Api (KA) khususnya Kantor Daerah Operasi (Daop) VI DI Yogyakarta mengajak serta beberapa pihak seperti Laretna Adishakti dan komunitas Indonesian Railway Preservation Society (IRPS). Beberapa aset PT KA di Yogya yang akan dibenahi untuk kemudian dikembangkan adalah kawasan Stasiun Tugu hingga Malioboro, stasiun-stasiun tua dari zaman Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) di abad 19 dan 20. Kawasan Stasiun Tugu hingga Malioboro bahkan menyisakan bangunan-bangunan lama, juga semacam gudang dalam kondisi yang – seperti diungkap Laretna – bikin banyak pihak tertarik untuk menghancurkan. Sayangnya, dalam rangka merevitalisasi kawasan dan bangunan itu, PT KA belum mendata secara lengkap apa saja dan di mana saja bangunan termasuk kawasan yang hendak dihidupkan kembali melalui proses konservasi. Sita, panggilan akrab Laretna, menegaskan, untuk masuk ke proses konservasi, hal yang pertama harus dilakukan adalah pendataan dan perencanaan secara holistic. “Kita tidak bisa hanya melihat bangunan tapi bagaimana dengan kawasannya. Karena entitas stasiun tak bisa dipisahkan dari lingkungannya,” ujar penggagas Jogja Heritage Society yang juga penerima anugerah The Nikkei Asia Prizes tahun 2009 ini. Sekadar informasi, pengembangan sub kawasan Stasiun Tugu merupakan rencana terpadu dengan pihak Pemprov DIY, Pemkot, dan Kraton Yogyakarta. Pengembangan tersebut antara lain meliputi pengembangan properti, pembangunan parkir kawasan inti Malioboro Selain itu, salah satu perhatian yang khusus diberikan Kepala Daop VI Yogyakarta, Rustam Harahap, adalah Stasiun Maguwo (lama) berlokasi di Dusun Kembang, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Stasiun ini dibangun oleh NIS. Data tentang sejarah perkeretaapian termasuk stasiunnya memang masih sangat sulit didapat. Rustam berharap bangunan yang terbengkalai itu diharapkan bisa berfungsi kembali atau dipindahkan ke suatu tempat. Pada awal pekan ini, pihak Kantor Pusat Pelestarian Benda dan Aset PT KA bersama Daop VI DI Yogyakarta, IRPS, dan aktivis pelestari pusaka juga membahas lokasi yang tepat bagi Stasiun Maguwo (lama). “Yang pasti warna kayu padam bangunan lama lebih baik dibiarkan muncul,” tandas Sita. Stasiun Maguwo (lama) sudah tak lagi dipergunakan dan digantikan Stasiun Maguwo baru di dekat Bandara Adi Sucipto. Stasiun ini diresmikan sekitar setahun lalu. Pastinya rencana PT KA itu memang terkait dengan penataan ruang dan lingkungan kota itu sehingga terkait pula dalam rencana besar dari otoritas DI Yogyakarta. Kepala Kantor Pusat Pelestarian Benda dan Aset PT KA, Ella Ubaidi, menyatakan, pekan depan pihaknya akan membicarakan hal tersebut dengan Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Kami dijadwalkan ketemu Sri Sultan Senin depan (13/7-Red),” tandas Ella.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2009/07/08/16362120/~Lansir~Konservasi