Latar Belakang
Pusaka sebagai Salah Satu Aset Pariwisata
Salah satu yang akhir-akhir ini banyak dibahas dalam diskusi pelestarian (konservasi) dan perencanaan perkotaan adalah peran bangunan atau kawasan bersejarah dalam strategi pembangunan perkotaan. Pendekatan pelestarian secara perlahan dilihat sebagai sebuah jalan untuk membangun kembali kawasan atau bangunan yang terbengkalai, selain juga untuk memelihara aspek sejarah yang melekat pada bangunan atau kawasan tersebut. Dalam hal ini, aspek-aspek yang juga menjadi pertimbangan tidak hanya mengembalikan sebuah bangunan bersejarah kepada bentuknya yang semula, tetapi juga perlu dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki kembali dan merencanakan sebuah kawasan dalam konteks yang sekarang dan masa datang, serta mempersiapkan pemanfaatan secara ekonomi di bidang pariwisata.
Pada tahun 2003, Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia bekerjasama dengan ICOMOS Indonesia dan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata mendeklarasikan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003 yang menyepakati bahwa:
- Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana.
- Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa.
- Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka tangible (bendawi) dan pusaka intangible (non bendawi);
- Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.
- Pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.
Pusaka Perkotaan dan Kota-kota di Indonesia
Pada tanggal 25 Oktober 2008, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dalam kegiatan International Conference on World Historic Cities di Solo mendeklarasikan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang beranggotakan para walikota/bupati kota/kabupaten yang memiliki kesejarahan dan aset-aset pusaka kota yang bernilai tinggi. Sejak kelahirannya hingga tahun 2011 ini telah beranggotakan 33 kota/kabupaten. Serangkaian pertemuan dan peningkatan kinerja jaringan maupun sumber daya manusia telah diselenggarakan. Di awali dengan pertemuan koordinasi awal di Kota Solo (tahun 2009), Pra-kongres di Kota Jakarta Utara dan Barat (tahun 2009), Kongres pertama di Kota Sawahlunto (tahun 2009) serta Rapat Kerja tahunan 2010 di Kota Ternate, Maluku Utara. Pada tahun ini akan diselenggarakan Rapat Kerja tahunan di Kota Pekalongan, Jawa Tengah pada bulan April 2011.
Akhir tahun 2010, Undang-undang Republik Indonesia no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya ditetapkan. Dari sisi aset undang-undang ini memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan UURI no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Cakupannya meliputi Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Demikian pula dari sisi pelestariannya, selain perlindungan yang ditingkatkan semakin luas kemungkinan pengembangan dan pemanfaatannya Seperti di antaranya pada pasal 78 ayat (3) UURI no. 11 tahun 2010: Pengembangan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Perkembangan di atas akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan masa depan pusaka-pusaka perkotaan (urban heritage) yang sering kali ditemui dalam kondisi tidak terawat, terbiarkan dan ada kecenderungan untuk diganti dengan konstruksi baru yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Dihancurkannya bangunan-bangunan bersejarah menjadi persoalan besar yang banyak dihadapi di kota-kota pusaka di Indonesia. Padahal sebenarnya minat publik bahkan wisatawan terhadap pusaka-pusaka perkotaan (urban heritage) baik alam maupun budaya tangible dan intangible semakin tinggi.
Persoalan di Indonesia, peluang urban heritage tourism belum dikembangkan secara komprehensif, bahkan banyak kota pusaka justru belum menangkap peluang tersebut. Meskipun demikian ada beberapa kota yang dalam dekade terakhir ini telah berupaya untuk meningkatkan aset-aset pusaka perkotaannya sebagai destinasi wisata yang kompetitif. Seperti dua kota kerajaan Jawa terakhir Yogyakarta dan Surakarta yang mencoba meningkatkan dan menyeimbangkan kemanfaatan ekonomi pusaka budaya perkotaan tangible dan intangible. Kedua kota pusaka ini merupakan destinasi unggulan pariwisata di Indonesia.
Penelitian destinasi unggulan pariwisata di kedua kota ini akan mengangkat pengembangan urban heritage tourism, untuk kemudian dalam kesempatan lain dilakukan penelitian di kota-kota pusaka lainnya. Karena pada dasarnya masing-masing kota pusaka perlu melindungi, merawat dan mengembangan karakter dan keunikannya sendiri-sendiri.
Inventarisasi dan dokumentasi merupakan langkah dasar yang perlu dilakukan dalam upaya pelestarian dan pengembangan pariwisata pusaka perkotaan. Demikian pula dalam penelitian ini, inventarisasi dan dokumentasi menjadi dasar pijakan untuk kajian lebih lanjut.
Hasil inventarisasi disusun dalam dokumentasi yang berbentuk Atlas Pusaka, berisikan:
.. Peta Orientasi Kota Yogyakarta dan Surakarta
.. Peta Pusaka Alam
.. Peta Pusaka Budaya Ragawi
.. Peta Pusaka Budaya Tak Ragawi yang meliputi:
- Seni Budaya
- Kuliner
- Kerajinan
.. Peta Pusaka Saujana: Kawasan dan Kampung
Berdasarkan Atlas Pusaka dan Informasinya dapat di kemudian hari disusun berbagai informasi wisata pusaka perkotaan baik melalui media digital (web-site) maupun cetak (leaflet, peta jelajah pusaka), dll. Atlas Pusaka dan Informasi ini perlu diperbaharui terus secara rutin, dan untuk itu perlu ada pengelolaan Inventarisasi dan Dokumentasi yang berkelanjutan pula.